Gadis bermata biru dari aceh

Posted @ 18:35 on Tuesday 22 June 2010 by Forex Education

Pesona Bungong Jeumpa Si Mata Biru

dalam foto ini gadis lamno yg berambut pirang dan bermata biru


Diantara ketegangan dan keindahan yang kini telah purna, ada satu lagi pesona Lamno. Di bekas kesultanan Daya, di kaki bukit Geureutee, tepatnya di desa Ujung Muloh, Gle Jong, Gampong Biru dan Kuala Daya, kita akan bertemu dengan banyak sekali wajah-wajah cantik wanita dan pria*nya. Mereka bermata coklat ataupun biru, berkulit putih, berambut pirang, hidung mancung dengan profil jangkung tubuh Eropa. Postur ini membuat mereka berbeda dengan orang Aceh lainnya. Masyarakat Aceh biasa menyebutnya si Mata Biru.

Menurut Kepala Bappeda Pemkab Aceh Jaya Tengku Irwansyah, nenek moyang si mata biru itu berasal dari Portugis dan Spa*nyol. Mereka adalah sisa-sisa tentara dinasti Islam di Spanyol (Al-Hambra). Mereka me*ngasingkan diri ke luar Eropa setelah kekaisaran runtuh pada abad ke-14.

Sebagian tentara kalah perang itu kemu*dian terdampar di wilayah pantai barat NAD, khususnya di Lamno. Sebagian di antara mereka menaklukkan kekuasaan kerajaaan Hindu di Aceh (Indrapuri-Aceh Besar) dan mendirikan kesultanan Aceh yang berlatar Islam. Di Lamno, mereka mendirikan kesul*tanan Lamno. "Karena itu, selain cantik, gadis-gadis mata biru itu dikenal sebagai pemeluk Islam yang taat, seperti warga Aceh lainnya," terang Irwansyah.

Karenanya, tak heran bila kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren yang kemudian melan*jutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Ban*daAceh.

Melihat warga L a m n o yang berma*ta biru atau coklat dan ber*profil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.

Meski berparas cantik, kebanyakan di anta*ra mereka agak pemalu jika bertemu dengan orang luar. Mereka juga menolak difoto. "Kare*na sifat pemalu itu, mereka terkesan eksklusif," kata Tengku Yahya, warga Lamno yang menjadi anggota DPRD Aceh Jaya.

Mereka juga agak sulit diajak bicara, kalau tidak didampingi oleh salah seorang tokoh desanya. Jarang sekali bisa mendapat kesem*patan untuk memotret wajah-wajah gadis Lamno yang cantik itu. Mereka selalu lari menghindarjika ada yang hendak mengambil foto dirinya.

Begitu pemalunya warga Lamno bermata biru keturunan Portugis ini, hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Tidak mudah mempersunting gadis Lamno ini. Perkimpoian seringkali terjadi sesama ketur*unan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berubah karena akhirnya mere*ka menyadari bahwa mereka adalah orang Aceh juga. Maka, ada juga satu atau dua gadis*nya yang mau menikah dengan warga Lamno lainnya, bahkan beberapa diantaranya dibo*yong orang Aceh lainnya.

Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebu*dayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, ma*upun aksen, serta pengu*capannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan ber*logat Aceh Ba*rat. Menu ma*kanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya.

Seorang pemilik rumah penginapan di dekat pasar Lamno menceritakan, pada hari*-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini biasanya datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, biasanya saat itu," kata pemilik Losmen Lamno.

Namun gelombang maha dahsyat tsuna*mi mengurangi jumlah warga keturunan ter*sebut. "Kalau dihitung, kisarannya bisa menca*pai separo lebih dari sekitar 2.000 warga si mata biru telah hilang dibawa badai tsunami," tambah Yahya.

Di pusat keturunan Portugis di Desa Daya ini juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Di tempat inilah si mata biru biasa melakukan perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha. Tapi sayangnya Tarbawi tidak bisa menyusuri bukit itu yang kini menjadi sebuah pulau tersendiri. Teronggok di seberang lautan dangkal.

Namun Tarbawi sempat betemu dengan salah satu keturunan si mata biru ini. Orangnya dikenal baik hati, bersahaja, ramah, sering mengajak orang minum kopi, tapi jarang menyebut jati dirinya. Tarbawi temui dia di Posko pengungsian SMA Lamno. la terkenal dengan sebutan Gamputeh. Namun nama sebenarnya adalah Jamaluddin Puteh (40). Wate Ion tengoh keumawe di loot manceng dan wate Ion wo mandum hana le" (Ketika itu saya berada di laut, mancing, dan waktu pulang semuanya hilang)," ujar Jamal.

Jamaluddin kini tinggal di pengungsian bersama istrinya yang juga si mata biru. Mere*ka telah kehilangan tiga putrinya. Keturunan*nya tinggal dua putranya, Dedi Darmadi di Sabang dan Irwandhy di Banda Aceh.

Di pengungsian SMA Lamno itu pula, Tarbawi juga bertemu dengan tiga gadis bermata biru bernama Dahlia (26), Tina (24) dan Marlina (20). Satunya lagi ibu beranak satu bernama Maulizar (27). Di antara para pe*ngungsi, keberadaan gadis-gadis ini memang terlihat lain, yaitu tetap cantik. Namun sifatnya pemalu. Mereka jarang berkomunikasi dengan orang luar, kecuali yang dikenalnya.

Menurut Tina, kadang ia sendiri merasa malu, karena ciri fisik yang berbeda. "Kita yang seperti orang barat ini karena ada keturunan asing. Tapi hati kita Lamno (tersenyum). Ayah saya saja tidak tahu siapa orang Portugis yang datang ke Lamno ini," jelasnya.

Tapi, meskipun wajah mereka cantik, sela*ma ini tidak ada gadis keturunan Lamno Portu*gis yang mau menjadi artis. "Diantara kami tidak satupun yang jadi artis atau mau menjadi artis" tambah Marlina.

Di antara kepiluan yang menyesakkan, barangkali, para pemuda dan gadis-gadis cantik keturunan Portugis dan Spanyol yang kini ada di pengungsian itu yang akan men*jadi penerus kehidupan. Toh mereka dikenal taat beragama, seperti nenek moyang mereka di Andalusia, di masa-masa keemasannya. Itu modal yang memadai untuk membangun semangat.

0 Comments

What Is Your Comment?

Powered by Blogger.